Wednesday 1 October 2014

Tuhan Menegur Saya dengan Sopan

Saya percaya, Tuhan selalu punya cara-Nya sendiri untuk menyadarkan hamba-Nya. Saya juga percaya, walaupun Tuhan tidak mungkin marah, tapi teguran-Nya bisa membuat kita seperti ditampar.
Sore tadi sepulang kuliah saya sadar, saya sedang ditegur Tuhan.

Saya mahasiswi tingkat akhir dengan tugas kuliah yang tiada putus-putus. Tanpa sadar saya sering mengeluh selama seminggu terakhir ini. Bagaimana tidak? Saya (dan teman-teman) dituntut untuk menyelesaikan sekarung tugas, mulai dari praktikum hingga tugas pribadi berupa penulisan ilmiah, tuh kan, saya mengeluh lagi.
Ya, memang berat, dan entahlah sepertinya gabungan dari mood wanita yang memang mudah berfluktuasi, puncaknya dua malam yang lalu saya merasa malas dan sangat sangat capek dan jenuh dengan segala aktifitas perkuliahan. Akibatnya langsung saya terima, saya tidak bisa dapat hasil yang memuaskan saat praktikum. Hari ini pun masih sama, selain kewajiban saya kuliah, kewajiban saya mengerjakan tugas kelompok, saya juga memiliki kewajiban untuk menjalankan suatu praktikum, sebut saja saya asisten lab. Sorenya, setelah semua selesai, rasanya lelaaaaaah sekali. Ya, lagi-lagi kalian lihat saya mengeluh.
Tapi tadi sore, sekitar pukul 20.00, di perjalanan pulang saya dari kampus, saya melihat tiga kejadian yang menggetarkan hati saya.
Pertama, saya tidak sengaja melihat seorang anak lelaki, mungkin usianya 13-14 tahun, saya melihat dia mengetukkan sesuatu ke tiang listrik sehingga terdengar bunyi "ting", asumsi saya, benda yang dia ketukkan berupa logam, bisa jadi uang receh, kunci, atau cincin. Tapi saat dia mengetukkan benda itu, benda itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke semak-semak rimbun di tanah yang bersebelahan dengan selokan. Apapun benda itu, pasti benda itu berukuran kecil, karena kemudian saya lihat dia berjongkok dan mencari benda itu dalam gelap. Bagaimana mungkin benda kecil itu dapat ditemukan saat hari sudah gelap, diantara semak-semak, dan mungkin saja bisa masuk ke selokan? Bagaimana jika benda itu merupakan benda yang berharga (karena dia langsung mencarinya)? Uang receh sesedikit apapun mungkin sangat berharga buat dia, apalagi jika itu adalah sebuah kunci, atau parahnya lagi sebuah cincin? Sepanjang jalan setelah melihat kejadian itu saya terus memikirkan hal itu, sampai saya melihat kejadian kedua.
Di jalur antara rumah dan kampus saya, ada seorang bapak pedagang kerupuk yang tidak bisa melihat. Saya hampir setiap hari melihat bapak tersebut berjalan memikul kerupuknya sambil meraba-raba jalanan menggunakan tongkat. Bapak ini selalu menggunakan topi dan baju lusuh berwarna hitam. Tadi, secara tidak sengaja, saya melihat bapak itu duduk di kursi didekat masjid, dengan dagangannya diletakkan ditanah dan topinya dilepas. Saya sepintas melihat bapak itu meraba-raba telepon genggamnya dan kemudian mendekatkannya ke telinga. Entah, siapa yang dia telpon.
Sepele? Mungkin iya, tapi entah mengapa saat saya melihat kejadian itu saya terdiam dan terasa agak sesak di dada.
Lalu kejadian ketiga, saat saya sedang menunggu orang yang memboncengi saya transaksi di atm. Seorang bapak yang cukup tua lewat sambil memikul dagangannya. Kalian tahu dagangannya apa? Cermin. Ya, cermin berbagai ukuran dia bawa dengan cara dipikul. Sekali lagi saya tertegun, saya berpikir, seberapa seringkah seseorang membeli cermin? Cermin bukanlah pakaian yang setiap hari pemakaiannya berganti-ganti sesuai dengan jenis yang disuka. Belum tentu satu bulan sekali kita (saya, anda) membeli cermin bukan? Jika tidak pecah atau retak, tentunya kita tidak membeli cermin begitu saja kan?

Kenapa dari sekian banyak hal yang bisa saya lihat di jalan, Tuhan mengarahkan mata saya kepada tiga kejadian itu? Entahlah. Tapi, disini saya sadar, Tuhan sedang menegur saya. Mungkin Tuhan ingin menunjukkan kepada saya bahwa ada orang-orang yang seharusnya lebih banyak mengeluh daripada saya. Mungkin Tuhan ingin menunjukkan kepada saya bahwa sesungguhnya saya adalah orang yang sangat beruntung. Baru tugas kuliah saja, saya sudah mengeluh capeklah, jenuhlah, malaslah, padahal itu kan kewajiban. Harusnya saya banyak bersyukur, bagaimana jika saya menjalani hidup seperti mereka? Belum tentu saya sanggup.

Ya, sore tadi Tuhan telah menegur saya dengan sopan.