Friday 29 May 2015

Pelanggaran Etika Profesi

DPD RI Suap Wartawan untuk Amankan Sejumlah Proyek

JAKARTA, batamtoday - Sejumlah wartawan yang menempati pos peliputan di parlemen Senayan diduga 'disuap' Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk mengamankan sejumlah proyek dan pencitraan lembaga senator daerah itu.
Tak kurang dari 30 wartawan media nasional dan daerah menerima gaji bulanan dari DPD sebesar Rp 3 juta sejak Maret 2011 lalu. Para wartawan yang menerima suap itu berdalih, mereka dibayar sebagai tenaga konsultan dan tenaga ahli.

Menanggapi hal itu, Sekjen DPD RI Siti Nurbaya Bakar membantah telah menyuap wartawan parlemen, yang ada iklan advetorial di sejumlah media, bukan dalam bentuk perorangan kepada para wartawan.

"Nggak ada DPD membiayai secara khusus wartawan. Untuk teman pers seperti yang ada paling kegiatan yang biasa-biasa itu saja. Mungkin diantaranya ada advetorial tapi itupun setahu saya oleh Pak Udin (Kepala Biro Humas DPD RI) dan Linda (staf Biro Humas ke redaksi dan bukan perorangan," kata Sekjen DPD di Jakarta, Selasa (1/11/2011).

Namun setelah didesak, Siti Nurbaya mengakui meminta bantuan sejumlah wartawan untuk mempublikasikan semua agenda kegiatan DPD, termasuk mengamankan pemberitaan pembangungan kantor perwakilan DPD di daerah yang setiap provinsinya mencapai Rp 30-40 miliar agar tidak diusik media seperti halnya pembangunan gedung DPR.

"Sebetulnya DPD, khususnya anggota membutuhkan untuk dididik cara-cara berinteraksi dengan media. Para anggota DPD itu harus belajar karena fungsi politiknya harus ke masyarakat melalui pers. Itu sebabnya saya minta tolong pada beberapa teman wartawan," katanya.

Kepala Biro Humas DPD Syiaruddin sendiri mengaku tidak mengetahui adanya uang suap kepada sejumlah wartawan. Ia justru mengetahui informasi tersebut dari para wartawan yang hendak mengkonfirmasi tersebut.

"Kalau urusan advetorial memang saya dan Linda yang diminta Sekjen menanganinya. Kalau yang begitu-begitu, saya tidak tahu, mungkin itu kebijan Sekjen. Saya coba tanya ke bagian keuangan, bilang tidak tahu," katanya.

Sedangkan wartawan nasional dan daerah yang enggan di sebutkan namanya, mengaku menerima kapasitasnya sebagai pribadi. Mereka mengaku diminta Sekjen untuk menjadi tenaga konsultan.

"Awalnya saya tidak tahu tiba-tiba dipanggil diminta jadi konsultan, saya terima sejak bulan Maret. Ini tidak ada kaitannya dengan pengurus (Pengurus Koordinatoriat Wartawan DPR/MPR/DPR, red)," kata wartawan tersebut.

Wartawan media nasional lainnya mengaku diminta sebagai tenaga ahli, dengan gaji sebesar Rp 3 juta per bulan. Wartawan itu sempat mempertanyakan ke Ketua DPD Irman Gusman dan Sekjen DPD Siti Nurbaya Bakar, jika diminta menjadi tenaga ahli harusnya dia menerima gaji Rp 7 per bulan.

"Kalau saya diminta jadi tenaga ahli dibayar 3 bulan, ini sempat saya pertanyakan ke Pak Irman dan Ibu Sekjen kalau jadi tenaga ahli mestinya standarnya Rp 7 juta. Tapi saya kemudian dibujuk Pak Udin terima saja, saya terimanya sejak Pak Irman dilantik jadi ketua DPD," papar wartawan itu yang juga agar namanya dirahasiakan.

Tidak dibenarkan

Secara terpisah, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, DPD RI tidak dibenarkan menggunakan anggaran negara untuk mengaji wartawan secara pribadi.

"Kalau untuk perseorangan wartawan, jelas itu tidak diperbolehkan. Tapi, kalau kerjasamanya melalui instansi media, itu baru diperbolehkan," kata Uchok.

Untuk itu, Uchok mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera mengaudit keuangan DPD RI."BPK harus turun tangan mengaudit DPD. Sebab, tidak mungkin banyak kebocoran lain di DPD yang tidak benar," tuturnya.

Selain itu, Uchok menyatakan, rencana pembangunan gedung DPD seluruh wilayah Indonesia senilai Rp 823 miliar harus dibatalkan.

"Kita menagih janji Marzuki Ali,  DPR sudah membatalkan soal gedung baru.  Mestinya berani juga membatalkan anggaran pembangunan gedung DPD," katanya.

Mantan aktifis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMMI) ini meminta, DPD semestinya sadar pembangunan gedung tersebut termasuk salah satu pemborosan anggaran APBN.  Bahkan, lanjutnya, pembangunan gedung DPD itu dinilai bukan prioritas pembangunan.

"DPD tidak peka terhadap  penderitaan rakyat. Apalagi krisis global mulai berimbas ke Indonesia. Mestinya dana itu bisa untuk mengurangi beban utang negara. Ngototnya DPD tetap menerus pembangunan gedung menunjukkan politik anggaran DPD tidak berpihak kepada rakyat, karena hanya segelintir elit saja yang menikmati gedung tersebut," ungkapnya.

Pernyataan Uchok terkait pembangunan gedung DPD cukup menarik jika ditarik dengan upaya DPD memberi gaji wartawan. Pasalnya, sejumlah persoalan di DPD, seperti pembagunan gedung DPD sedikit 'aman' atau tidak terpublikasi kepada publik. Berbeda dengan DPR yang 'dihajar' habis-habisan dan akhirnya harus mengurungkan niatnya membangun gedung baru.

Tanggapan Penulis
Terkait berita yang diterbitkan oleh situs berita online batamtoday.com, saya menyayangkan perbuatan yang dilakukan wartawan berita yang mau menerima suap dari anggota DPD RI untuk mengamankan sejumlah proyek dan pencitraan lembaga senator daerah itu. Hal yang sangat disayangkan adalah seharusnya seorang wartawan atau jurnalis dapat memberikan informasi yang akurat kepada publik tanpa menutupi suatu kejelekan dari berita yang dia liput. Apalagi kalau sampai membesar-besarkan suatu berita agar menjadi bagus di mata publik padahal kejadian aslinya tidak sesuai dengan apa yang diberitakan. Hal ini dapat dikatakan sebagai kebohongan publik.


Terkait dengan pasal 1 dari kode etik jurnalistik yang menyebutkan bawa "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.", untuk kasus di atas dapat diketahui bahwa terdapat wartawan yang menghasilkan berita yang tidak akurat, yaitu melebih-lebihkan suatu kejadian agar mendapat citra yang baik di mata masyarakat.
Selain itu juga berkaitan dengan pasal 6 kode erik jurnalistik yang menyebutkan "Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.", hal ini lagi-lagi menunjukkan pelanggaran yang telah dilakukan wartawan tersebut, menerima suap demi kepentingan pribadinya dan menyajikan berita yang tidak sesuai dengan realita.

Pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan tersebut mungkin tidak begitu heboh beritanya seperti pelanggaran kode etik yang dilakukan profesi lain dalam urusan menerima suap. Tapi apakah para wartawan yang menerima suap itu sadar, bahwa informasi yang mereka sampaikan umumnya akan diterima mentah-mentah oleh masyarakat? Apa yang terjadi jika masyarakat begitu saja percaya dengan berita yang mereka sampaikan? Padahal seharusnya sebagai orang yang bertugas memberikan informasi, para wartawan harus menyajikan berita sesuai fakta yang ada di lapangan. Tidak dikurangi, atau dilebih-lebihkan. Semoga hukum Indonesia akan menindak tegas para wartawan yang melanggar tersebut sehingga mengurangi jumlah informasi yang tidak akurat dan tidak terjadi lagi pembohongan dan pembodohan terhadap publik.


Sumber berita:
http://www.batamtoday.com/berita9076-DPD-RI-Suap-Wartawan-untuk-Amankan-Sejumlah-Proyek.html

Sumber lainnnya:
http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/peraturan/?id=513