Saturday 14 December 2013

Dengan Habisnya Rokok dan Menggelapnya Langit

“Ketika seseorang bersedia menghabiskan waktunya denganmu, maka kau boleh berbangga karena dirimu adalah spesial baginya.”. Begitukah? Tentu saja. Ia rela menghabiskan suatu hal yang tak lagi bisa ia ulang, suatu hal yang tak mungkin kembali, serta suatu hal yang sebenarnya terbatas bagi setiap orang denganmu, dan kau masih berpikir dirimu tidak spesial?
Belakangan ini aku sedang berusaha memahami konsep waktu. Bagaimana waktu kadang dapat terasa begitu singkat, namun tak jarang waktu seolah bergerak sangat lambat. Tidak dapat dibantah, satu hari hanya memiliki 24 jam untuk dilalui. Entahlah, terkadang ada perasaan 24 jam tersebut kurang untuk satu hari, terkadang ingin rasanya satu hari tidak perlu sampai 24 jam, kadang pula 24 jam terasa begitu tepat untuk melakukan segala hal produktif yang bisa dilakukan.
Ah bukan itu intinya. Aku sebenarnya ingin berbagi penilaianku soal waktu yang kulalui bersamamu, wahai lelaki berkemeja biru. Sebelumnya ijinkan aku menyampaikan terimakasih karena kau telah bersedia menghabiskan waktumu, sesuatu yang kau tau tak kan dapat kau ulang lagi, denganku.
Saat bersamamu, entah bagaimana waktuku terasa begitu cepat berlalu. Entah bagaimana seolah-olah gelap selalu datang lebih cepat dari biasanya. Aneh bukan? Dan kau tau apa yang lebih aneh? Bagaimana mungkin saat tidak bersamamu, waktu terasa begitu lama, sang surya seperti terlambat, sehingga terang harus menunggu begitu lama untuk muncul dan memberi isyarat padaku untuk kembali beraktifitas.
Lalu aku menyadari satu hal lagi tentang waktu ketika kita bersama. Taukah kau, rokok yang kau hisap itu terkadang menjadi patokan juga untukku tentang waktu kita yang terbatas. Duduk denganmu, melihatmu menghisap rokok dan menghembuskan asapnya, menikmati dua cangkir kopi hangat, sembari bercerita tanpa batas terkadang membuatku tak ingin sebatang rokok yang kau pegang dengan dua jarimu itu habis. Entahlah apalagi ini, tapi ketika kau membuang puntung rokok itu dan bangkit berdiri, aku terkadang merasa cukup sampai disinilah waktu kita hari ini.
Kau pernah berkata, waktu kita dibatasi oleh langit yang perlahan menggelap. Memang begitulah adanya, semuanya harus dicukupkan saat langit tak lagi dihiasi matahari. Kita sepakat bahwa waktu bukan hanya milik kita. Kita masih punya kewajiban untuk berbagi waktu tersebut dengan keluarga yang menunggu di rumah, dengan para sahabat yang juga rela membagi waktunya dengan kita, dan yang paling menyebalkan, dengan tugas yang berteriak minta segera diselesaikan.
Bagiku bukan masalah jika waktu kita terbatas, entah oleh rokokmu yang terbakar perlahan atau oleh menggelapnya langit. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menghabiskan dan memanfaatkan keterbatasan waktu tersebut. Untuk hal itu, ijinkan aku berterimakasih lagi padamu, untuk tidak pernah membuatku merasa menyesal menghabiskan waktuku bersamamu.
Hai lelaki berkemeja biru! Entah harus dengan bahasa apalagi aku mengatakan betapa aku menyukai menghabiskan waktu bersamamu. Sekarang, diantara doa yang kupanjatkan sebelum tidur, kusisipkan satu lagi permintaanku pada Tuhan. Suatu harapan yang pernah kita katakan bersama, suatu angan bahwa nantinya pertemuan kita tak lagi dibatasi oleh langit yang menggelap, bahwa akan tiba saatnya waktu yang kita miliki tak lagi terbatas. Ah, mungkin berlebihan mengharapkan hal tersebut sekarang. Terlalu naif membayangkan masa ketika angan tersebut akhirnya dikabulkan. Tetapi biarlah, bagaimanapun akhirnya nanti, satu hal yang aku tau pasti, aku tidak ingin menyia-nyiakan keterbatasan waktuku sekarang dengan tidak menikmatinya bersamamu.
    Seseorang bernama Zarry pernah berkata, “kamu adalah masa, dimana aku harap waktu berhenti untuk selamanya”. Tapi bagiku, kau hanyalah masa, dimana aku harap dapat menghabiskan seluruh waktuku bersamamu. Selamat malam, selamat beristirahat, hai lelaki berkemeja biru.