“Ketika seseorang bersedia menghabiskan
waktunya denganmu, maka kau boleh berbangga karena dirimu adalah spesial
baginya.”. Begitukah? Tentu saja. Ia rela menghabiskan suatu hal yang tak lagi
bisa ia ulang, suatu hal yang tak mungkin kembali, serta suatu hal yang
sebenarnya terbatas bagi setiap orang denganmu, dan kau masih berpikir dirimu
tidak spesial?
Belakangan ini aku sedang berusaha memahami
konsep waktu. Bagaimana waktu kadang dapat terasa begitu singkat, namun tak
jarang waktu seolah bergerak sangat lambat. Tidak dapat dibantah, satu
hari hanya memiliki 24 jam untuk dilalui. Entahlah, terkadang ada perasaan 24 jam
tersebut kurang untuk satu hari, terkadang ingin rasanya satu hari tidak perlu
sampai 24 jam, kadang pula 24 jam terasa begitu tepat untuk melakukan segala
hal produktif yang bisa dilakukan.
Ah bukan itu intinya. Aku sebenarnya ingin
berbagi penilaianku soal waktu yang kulalui bersamamu, wahai lelaki berkemeja
biru. Sebelumnya ijinkan aku menyampaikan terimakasih karena kau telah bersedia
menghabiskan waktumu, sesuatu yang kau tau tak kan dapat kau ulang lagi,
denganku.
Saat bersamamu, entah bagaimana waktuku
terasa begitu cepat berlalu. Entah bagaimana seolah-olah gelap selalu datang
lebih cepat dari biasanya. Aneh bukan? Dan kau tau apa yang lebih aneh?
Bagaimana mungkin saat tidak bersamamu, waktu terasa begitu lama, sang surya
seperti terlambat, sehingga terang harus menunggu begitu lama untuk muncul dan
memberi isyarat padaku untuk kembali beraktifitas.
Lalu aku menyadari satu hal lagi tentang
waktu ketika kita bersama. Taukah kau, rokok yang kau hisap itu terkadang
menjadi patokan juga untukku tentang waktu kita yang terbatas. Duduk denganmu, melihatmu
menghisap rokok dan menghembuskan asapnya, menikmati dua cangkir kopi hangat,
sembari bercerita tanpa batas terkadang membuatku tak ingin sebatang rokok yang
kau pegang dengan dua jarimu itu habis. Entahlah apalagi ini, tapi ketika kau
membuang puntung rokok itu dan bangkit berdiri, aku terkadang merasa cukup
sampai disinilah waktu kita hari ini.
Kau pernah berkata, waktu kita dibatasi oleh
langit yang perlahan menggelap. Memang begitulah adanya, semuanya harus
dicukupkan saat langit tak lagi dihiasi matahari. Kita sepakat bahwa waktu
bukan hanya milik kita. Kita masih punya kewajiban untuk berbagi waktu tersebut
dengan keluarga yang menunggu di rumah, dengan para sahabat yang juga rela
membagi waktunya dengan kita, dan yang paling menyebalkan, dengan tugas yang
berteriak minta segera diselesaikan.
Bagiku bukan masalah jika waktu kita
terbatas, entah oleh rokokmu yang terbakar perlahan atau oleh menggelapnya
langit. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menghabiskan dan memanfaatkan
keterbatasan waktu tersebut. Untuk hal itu, ijinkan aku berterimakasih lagi
padamu, untuk tidak pernah membuatku merasa menyesal menghabiskan waktuku
bersamamu.
Hai lelaki berkemeja biru! Entah harus dengan
bahasa apalagi aku mengatakan betapa aku menyukai menghabiskan waktu bersamamu.
Sekarang, diantara doa yang kupanjatkan sebelum tidur, kusisipkan satu lagi
permintaanku pada Tuhan. Suatu harapan yang pernah kita katakan bersama, suatu
angan bahwa nantinya pertemuan kita tak lagi dibatasi oleh langit yang
menggelap, bahwa akan tiba saatnya waktu yang kita miliki tak lagi terbatas.
Ah, mungkin berlebihan mengharapkan hal tersebut sekarang. Terlalu naif membayangkan
masa ketika angan tersebut akhirnya dikabulkan. Tetapi biarlah, bagaimanapun
akhirnya nanti, satu hal yang aku tau pasti, aku tidak ingin menyia-nyiakan
keterbatasan waktuku sekarang dengan tidak menikmatinya bersamamu.
Seseorang bernama Zarry
pernah berkata, “kamu adalah masa, dimana aku harap waktu berhenti untuk selamanya”.
Tapi bagiku, kau hanyalah masa, dimana aku harap dapat menghabiskan seluruh
waktuku bersamamu. Selamat malam, selamat beristirahat, hai lelaki berkemeja
biru.
Yang diungkapkan dari hati akan sampai ke hati. Great!
ReplyDelete