Siapa yang tidak tahu Indonesia?
Sebuah negeri amat indah yang memiliki lebih dari 300 etnis dengan warisan
budaya masing-masing yang telah berkembang selama berabad-abad. Begitu banyak
dan indahnya kebudayaan dan tempat-tempat di Indonesia membuat banyak wisatawan
asing tertarik mengunjungi negara ini. Tidak ketinggalan wisatawan lokal yang
tidak bosan-bosan berkelana menjelajahi negeri sendiri. Ya, Indonesia dengan
segala kemewahannya telah menarik minat banyak orang. Tidak terkecuali negara
tetangga yang beberapa waktu lalu mencoba mengklaim
kebudayaan Indonesia.
Pada post kali ini saya akan
membandingkan 2 dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu
kebudayaan Bali dan kebudayaan Betawi. Mengapa saya memilih 2 kebudayaan ini
dibanding yang lain? Alasannya sederhana. Bali, dengan pulaunya yang indah
telah menjadi ciri khas Indonesia di mata dunia. Tidak jarang wisatawan asing
lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Kebudayaan Bali begitu unik dan beragam
begitu juga tempat wisatanya yang begitu indah, membuat turis tidak bosan
berkunjung ke sana. Saya membandingkan Bali dengan Betawi karena Betawi di sini
adalah kebudayaan yang identik dengan Jakarta, ibukota Indonesia itu sendiri.
Perbedaan sistem budaya, sistem sosial dan hasil fisik dari kedua kebudayaan
tersebut akan saya tulis pada post kali ini. Selamat membaca!
A.
Sistem Budaya
Kebudayaan Bali pada hakikatnya
dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat
Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh
faktor ruang ( desa ), waktu ( kala )
dan kondisi riil di lapangan (patra ).
Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan
kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi
pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan
interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina,
dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam
seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan
seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya
Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses
akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan
adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak
kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya
menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan
lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang
dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan
harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni
persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata )
dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian
waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada
saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini
juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari
suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian
pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi
yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki
identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara
konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai
religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai
keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu
bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Sedangkan budaya
Betawi merupakan budaya mestizo,
atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia Belanda,
Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda yang menarik pendatang
dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh
penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah
yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya
Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya
barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
B.
Sistem Sosial
Masyarakat
Hindu di Bali dalam kehidupan sehari-harinya selalu berpedoman pada ajaran
Agama Hindu warisan para lelulur Hindu di Bali terutama dalam pelaksanaan
upacara ritual dalam hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan alam tetap berlandaskan ajaran-ajaran Agama
Hindu dan dalam pelaksanaan Upacara Keagamaan perpatokan pada Panca Yadnya.
Yang dimaksud dengan Panca Yadnya adalah : Panca artinya lima dan Yadnya
artinya upacara suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan yang dalam istilah Bali
masyarakat Hindu menyebutkan Ida Sanghyang Widi.
Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan para dewa-dewa
2. Butha Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan unsur-unsur alam
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara suci kepada manusia
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara suci bagi manusia yang telah meninggal
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan para orang suci umat
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan Panca Yadnya secara simpel dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Upacara Dewa Yadnya
Dewa asal kata bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi.
Yadnya artinya upacara suci
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi.
Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh Umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengathuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis tasbih), genitri (semacam alat musik) serta lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil.
2. Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta artinya unsur yang diadakan, sedangkan Yadnya artinya upacara suci.
Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi”
Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan yang ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (IX) menjelang Hari Raya Nyepi (tahun baru kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (IX) adalah upacara suci yang merupakan persembahan kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.
3. Upacara Manusa Yadnya
Manusa artinya manusia
Yadnya artinya upacara suci
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara suci dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya adalah :
1.Upacara Bayi Lahir.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
2. Upacara Tutug Kambuhan, Tutug Sambutan dan Upacara Mepetik.
Upacara Tutug Kambuhan, merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga).
Upacara Tutug Sambutan (105 hari) dan Mepetik, adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan.
Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga dan pengguntingan rambut untuk pertama kalinya, apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut dibagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul)dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara pengguntingan rambut ini disebut Upacara Mepetik.
3. Upacara Perkawinan
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
3.1. Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
3.2. Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
3.3. Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan(barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga. Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" ( Sarana Pemetusan ) yang biasanya dipergunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
4. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben )
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Pitra Yadnya adalah upacara suci yang dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu ) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimak dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan angkasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk meralina digunakan api pemeralina ( api alat kremasi).
5. Upacara Resi Yadnya
Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Resi Yadnya adalah upacara suci sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat.
Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.
Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
1. Dewa Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan para dewa-dewa
2. Butha Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan unsur-unsur alam
3. Manusa Yadnya, yaitu upacara suci kepada manusia
4. Pitra Yadnya, yaitu upacara suci bagi manusia yang telah meninggal
5. Rsi Yadnya, yaitu upacara suci kehadapan para orang suci umat
Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan Panca Yadnya secara simpel dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Upacara Dewa Yadnya
Dewa asal kata bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi.
Yadnya artinya upacara suci
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi.
Adanya pemujaan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh Umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengathuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis tasbih), genitri (semacam alat musik) serta lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil.
2. Upacara Bhuta Yadnya
Bhuta artinya unsur yang diadakan, sedangkan Yadnya artinya upacara suci.
Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi”
Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan yang ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (IX) menjelang Hari Raya Nyepi (tahun baru kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (IX) adalah upacara suci yang merupakan persembahan kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.
3. Upacara Manusa Yadnya
Manusa artinya manusia
Yadnya artinya upacara suci
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara suci dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Adapun beberapa upacara Manusa Yadnya adalah :
1.Upacara Bayi Lahir.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :
• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat dibayar.
2. Upacara Tutug Kambuhan, Tutug Sambutan dan Upacara Mepetik.
Upacara Tutug Kambuhan, merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dan kedua orang tuanya.
Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat Suci Keluarga).
Upacara Tutug Sambutan (105 hari) dan Mepetik, adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan.
Pada upacara ini nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang, kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga dan pengguntingan rambut untuk pertama kalinya, apabila keadaan ubun-ubun si bayi belum baik, maka rambut dibagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot (jambul)dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara pengguntingan rambut ini disebut Upacara Mepetik.
3. Upacara Perkawinan
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
3.1. Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
3.2. Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
3.3. Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan(barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga. Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" ( Sarana Pemetusan ) yang biasanya dipergunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
4. Upacara Pitra Yadnya (Ngaben )
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal.
Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Pitra Yadnya adalah upacara suci yang dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu ) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimak dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan angkasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk meralina digunakan api pemeralina ( api alat kremasi).
5. Upacara Resi Yadnya
Rsi artinya orang suci sebagai rokhaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali.
Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Resi Yadnya adalah upacara suci sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat.
Demikian Upacara Panca Yadnya yang dilaksanakan oleh Umat Hindu di Bali sampai sekarang yang mana semua aktifitas kehidupan sehari-hari masyakat Hindu di Bali selalu didasari atas Yadnya baik kegiatan dibidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, pertanian, keamanan dan industri semua berpedoman pada ajaran-ajaran Agama Hindu yang merupakan warisan dari para leluhur Hindu di Bali.
Sedangkan keseharian orang-orang
betawi pada umumnya cukup terlihat santai, dan pada umumnya kegiatan kebanyakan
orang-orang betawi dihabiskan dirumah, atau jika sedang bosan dirumah mereka
keluar rumah atau kalau kata orang betawi sebutannya nongkrong, dan untuk sumber penghasilan pada
umumnya orang betawi mengandalkan dengan membuka suatu usaha, seperti misalnya
membangun kontrakan, membuka warung, bahkan ada juga yang kerja dikantoran,
akan tetapi pada umumnya masyarakat betawi mengandalkan usaha yang sudah
diturunkan dari keluarga-keluarga terdahulu, dan bisa dibilang masyarakat
betawi pada umumnya juga taat dengan agama, itu dapat terlihat masjid yangada
di sekitar masyarakat perkampungan betawi yang lebih tepatnya dengan nama setu babakan itu selalu penuh dengan jemaah
masyarakat sekitar.
C. Hasil
Kebudayaan
BALI
Musik
Seperangkat gamelan Bali.
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan
musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam
penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam teknik
memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak,
yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam
gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang, gamelan selunding dan gamelan Semar
Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngabenserta
musik Bebonangan dimainkan dalam
berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional
Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa
penjajahan Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya
musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon).
Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau
permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling memengaruhi daerah
budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisionalmasyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok.
Tari
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan
menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari
pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni tari
untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada
awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain
yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan dan Wayang Wong, sedangkan
balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para
wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan
bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak memopulerkan tari ini saat
berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Pakaian
daerah
Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat
bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di
Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara,
jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat
diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
Pria
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari:
§ Udeng (ikat kepala)
§ Kain kampuh
§ Umpal (selendang pengikat)
§ Kain wastra (kemben)
§ Sabuk
§ Keris
§ Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan baju kemeja, jas dan alas
kaki sebagai pelengkap.
Wanita
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
§ Gelung (sanggul)
§ Sesenteng (kemben songket)
§ Kain wastra
§ Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
§ Selendang songket bahu ke bawah
§ Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
§ Beragam ornamen perhiasan
Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada,
dan alas kaki sebagai pelengkap.
Rumah Adat
Rumah Bali yang sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan, layaknya Feng Shui dalam Budaya China)
Menurut filosofi masyarakat Bali, kedinamisan
dalam hidup akan tercapai apabila terwujudnya hubungan yang harmonis antara
aspek pawongan, palemahan dan parahyangan. Untuk itu pembangunan sebuah rumah
harus meliputi aspek-aspek tersebut atau yang biasa disebut Tri Hita Karana. Pawongan
merupakan para penghuni rumah. Palemahan berarti harus ada hubungan yang baik
antara penghuni rumah dan lingkungannya.
Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional
daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian
warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan
simbol-simbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis
fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam
patung.
BETAWI
Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki
seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa,
tetapi juga adaRebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara
unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng
Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari
di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan
kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi,
dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran
lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita
rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain
cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung,
juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan
jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
"keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan,
juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman
kolonial. creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya
Source:
http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_7715/title_tugas-kelompok/
No comments:
Post a Comment